kerusuhan dayak-madura kalbar 1997

| Jumat, 01 Oktober 2010 | |
MALAM Minggu, 22 Februari 1997, beberapa karyawan Kantor Wilayah Kehutanan Kalimantan Barat (Kalbar) dengan riang gembira bermobil dari Pontianak. Mereka akan menghadiri acara halalbihalal yang akan diadakan di Singkawang, hari Minggu pagi. Tak ada kekhawatiran apa-apa ketika mereka meninggalkan Pontianak. Sudah berulang kali aparat mengatakan: keadaan saat ini sudah aman.
Sekitar tengah malam, mereka haru meninggalkan Mempawah. Beberapa aparat keamanan menghentikan mobil. Mereka diminta tidak meneruskan perjalanan dan kembali ke Pontianak. Ada kerusuhan kembali di Sungairuk yang terletak antara Mempawah dan Singkawang. Mereka pun terpaksa memutar haluan.
Kejadian itu menunjukkan kerusuhan antar etnis Dayak dan Madura masih terus berlangsung, meskipun hanya secara sporadis. Tampaknya, itulah yang membuat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu,Jendral R. Hartono tetap memerintahkan 3.000 personel ABRI dari Kalbar maupun Jakarta tetap bersiaga penuh di sana. Tapi, karena sekian aparat harus dibagi dalam empat kabupaten, kerap kali mereka kecolongan bila ada kerusuhan baru. Dengan adanya kerusuhan itu, ditambah letak daerahnya yang strategis bagi pertahanan, ABRI malah berniat menambah personel keamanan. "Satuan kaveleri, misalnya," ujar KSAD.
Penambahan personel keamanan memang amat dibutuhkan di provinsi yang luasnya lebih dari 146 ribu kilometer persegi itu (lebih besar sedikit dari Pulau Jawa plus Madura). Apalagi bila ada perkelahian massal di antara kedua etnis di atas yang sudah terjadi sejak tahun 1950 dan kali ini sudah terjadi delapan kali. Meski upacara adat Nyaru' Samangat -- upacara adat Dayak untuk mengembalikan semangat dari rasa ketakutan -- sudah diadakan di beberapa kecamatan, bukan tak mungkin pertikaian meledak kembali.
Kerusuhan kali ini, meski sempat dipotong jeda perdamaian, sudah berlangsung hampir dua bulan. Tak ada yang bisa, atau mau, menjelaskan berapa banyak kerugian yang sudah diderita kedua suku itu. Penyerbuan ke kompleks perumahan dan tempat penampungan warga Madura (di beberapa tempat terjadi sebaliknya) terjadi hampir setiap hari. Rumah-rumah dibakar dan penghuninya dihabisi. Media-media asing mengatakan: jumlah korban sampai ribuan. Adapun Asisten Pengamanan KSAD saat itu, Mayjen Zacky Anwar Makarim, hanya mengangguk ketika ditanya apakah jumlah korban sekitar 300 orang. "Almost the same, dari kedua belah pihak," ujar Makarim. Tapi, Pangab Feisal Tanjung bilang, jumlah korban masih dihitung, jangan sembarang menyebut jumlah.
Padahal, penyebab kerusuhan itu hanya masalah sepele ketika terjadi senggolan antarpemuda dalam arena joget di Sanggauledo, sekitar 235 kilometer dari Pontianak, pada 30 Desember 1996. Bakrie, anak pasangan Dayak dan Madura itu, tersinggung dan menclurit Yokundus dan Rakim, pemuda-pemuda Dayak hingga harus masuk rumah sakit. Teman-teman Yokundus mengamuk dan menyerang daerah transmigrasi sosial Lembang dan Marabu. Karena tak menemukan warga Madura yang sudah keburu mengungsi, mereka pun merusak dan membakar rumah-rumah dan menjalar dengan cepat ke empat kecamatan lain.
Gara-gara kerusuhan itu, ribuan rumah terbakar dan puluhan orang dikabarkan tewas. Yang lain mengungsi ke kota-kota lain atau masuk ke dalam hutan. Bagaimanapun, dengan ikrar perdamaian dan bantuan aparat keamanan, pertikaian itu bisa diredakan.
Kerusuhan itu memasuki babak kedua yang lebih seram dan berkepanjangan ketika pada 29 Januari 1997 ada pihak yang memanfaatkan momentum tersebut dengan merusak kantor dan koperasi Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK) di Pontianak yang dimiliki oleh 30 subsuku Dayak. Dini hari, sekitar 35 orang bertopeng (ada yang bilang muka mereka ditutup kain seperti ninja, jadi bukan topeng) menyerang yayasan yang membawahi SMP dan SMU Santo Fransiskus Asisi itu.
Siapa dan bagaimana wujud manusia misterius itu? Berikut ini adalah cerita Verico Marcel dan Samuel Angkouw dari Forum Petaupan Katouwan Sulawesi Utara yang sedang mengikuti pemetaan partisipatif di Kantor YKSPK saat mereka menyerang. "Walau kami sudah mendengar isu Kantor YKSPK termasuk salah satu sasaran, tapi karena ada alat-alat yang kami butuhkan, pada 27 Januari kami menginap di sana," ujar mereka.
Dalam asrama itu ada 36 wanita dan enam laki-laki. Siswa laki-laki bergantian piket sampai pukul 03.00. Ketika mereka akan tidur, terjadilah pernyerbuan sekitar pukul 04.15. Ketika Verico yang tidur di rumah penjaga sekolah mengintip ke kantor, tampak api sudah membesar dari salah satu ruangan. Juga terdengar bunyi ledakan, pecahan kaca, dan teriakan "Bunuh... bunuh.... Mana mandau?"
"Ketika kami mengintip, tampak seorang lelaki sedang berjalan. Di tangannya ada jerigen putih ukuran lima liter. Lelaki itu berjaket jins, berambut pendek, dan bertubuh agak gempal. Ia tidak bertopeng, tapi raut wajahnya tidak jelas karena jarak kami cukup jauh," cerita Verico.
Manusia bertopeng itu juga menyerang sebuah rumah kos sehingga dua karyawati, Natalia dan Sena Eva, luka-luka. Beredar kabar: mereka meninggal dan kerusuhan pun meletup lagi. Kali ini, kerusuhan itu dalam intensitas yang lebih besar. Warga Dayak menyerang permukiman Madura. Sebaliknya, penduduk Madura pun melakukan serangan dalam bentuk lain. Mereka menyetop kendaraan yang menuju ke Sanggauledo. Kalau di antara penumpang itu ada warga Dayak, tak ada ampun, langsung diclurit. Lanun, seorang supir Kijang, dan penumpang bus bernama Djalan tewas akibat aksi yang terjadi pada akhir Januari lalu.
Namun, yang membuat kemarahan warga Dayak berkobar adalah insiden terbunuhnya Martinus Nyangkot dalam pencegatan yang dilakukan warga Madura di Desa Peniraman, pada 31 Januari 1997. Nyangkot adalah Kepala Desa Maribas, Kecamatan Tebas, yang juga ketua adat setempat. Kala itu, ia hendak pulang ke kampungnya bersama anaknya Maria Ulfa, yang baru saja diwisuda di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Maria, lulusan Fakultas Ekonomi Untan, bisa selamat dalam penyegatan tersebut.
Maka, kerusuhan pun marak di Kabupaten Sanggau, yaitu di Kota Sanggau, Sosok, dan Tayan. Di Kabupaten Pontianak, konflik terjadi di kecamatan Ngabang, Sengahtemila, Mandor, Toho, Mempawah Hulu, dan Sungai Pinyuh. Dengan mandau tergantung di pinggang, ratusan warga Dayak berkeliling dengan truk untuk membakar rumah; dan bila menemukan warga Madura langsung diserbu.
Meski pasukan Kostrad dari Jakarta ditambah, mereka yang sedang marah tak kenal takut. Mereka tetap mengejar warga Madura yang diungsikan ke asrama tentara. Terpaksa, aparat menembak pemuda Dayak yang ingin merangsek warga Madura di markas Kodim Sanggaukapuas. Insiden penembakan serupa terjadi di beberapa lokasi lain. Tak jelas, berapa korban yang jatuh.
Aparat keamanan memang bertindak keras, termasuk kepada Zainuddin Isman, koresponden Kompas di sana. Sejak 3 Februari Zainuddin, 41 tahun, ditahan karena dalam razia senjata tajam oleh aparat keamanan di Pontianak, ia menyimpan sebilah mandau dan pisau dalam mobilnya. "Padahal, itu mandau hiasan yang dibeli ketika ada orang berjualan di kantornya," kata pengacaranya Djafar Oesman. Kabarnya, calon anggota legislatif dari PPP, nomor 2, dari Kalbar, itu juga ditahan karena membuat kronologi kejadian yang dianggap bisa memanaskan keadaan. Penahanan untuk Zainuddin itu kini diperpanjang hingga 3 April.
Kerusuhan itu, tampaknya, membuat aparat terkesan bingung dan asal menuding pihak-pihak yang dicurigai. Termasuk di antaranya dua ulama kondang dari Madura, yang salah satu di antaranya pernah mengunjungi Kalbar untuk menenangkan warga Madura di sana. Namun, dalam pertemuan dengan KSAD itu, para ulama mengatakan isu tersebut dikipasi oleh seorang pedagang besar asal Madura yang tinggal di sana.
Kini, pihak-pihak Dayak dan Madura mengeluarkan imbauan kepada warganya untuk mematuhi peraturan agar kerusuhan bisa reda. Di tengah upaya tersebut, terjadi lagi penyerbuan orang Dayak ke perkampungan Madura di Dusun Sekim I dan II, Desa Sungaikunyit Hulu, Kecamatan Sungaikunyit, 18 Februari 1997. Dengan bersenjata mandau, tombak, panah, dan senjata lantak, tewaslah 17 orang warga. Kali ini, aparat sigap. Sejumlah 68 pelaku dengan senjatanya bisa ditangkap dan oleh aparat digolongkan dalam 13 kategori tindak pidana. Beberapa perusuh masih muda usia, seperti Jisen, 13 tahun, yang oleh Komandan Kodim Mempawah Letkol Bambang Ismoyono kemudian dijadikan anak angkatnya.
"Kerusuhan di Sekim itu terjadi karena para perusuh belum mengetahui kalau kedua belah pihak telah menyatakan kebulatan tekadnya," tutus Pangdam VI Tanjungpura Mayjen Namoeri Anoem saat itu. Padahal, katanya, instansi terkait sudah berbuat yang terbaik untuk mengembalikan kondisi seperti semula, misalnya dengan menyebarluaskan informasi melalui edaran, selebaran, radio, maupun koran.
Hingga kini, upacara Nyaru' Samangat yang diharapkan bisa meredakan gelegak kemarahan warga sudah dilakukan di beberapa kecamatan, seperti Kecamatan Sungai Ambawang, Air Besar, Desa Maribas Kecamatan Tebas (tempat tinggal Martinus Nyangkot), dan pada hari Minggu lalu diadakan di Sungai Pinyuh. Disusul, pada hari Senin, di Mandor dan seterusnya. Sebagian orang pesimistis, sekadar ritual formal tak menyelesaikan masalah. Tampaknya, harus selalu ada pemantauan; dan masing-masing pemimpin etnis diharapkan untuk selalu bertemu. Mudah-mudahan.
Laporan Verrianto Madjowa dan Koresponden Pontianak
*)D&R, 1 Maret 1997,sumber: http://www.tempo.co.id/ang/min/01/53/nas5.htm         

0 komentar: