ASAL USUL ORANG MELAYU

| Kamis, 14 Oktober 2010 | |
Kalimantan Tanah Melayu
(Melacak Asal Usul Orang Melayu)

Oleh Setia Budhi

Ini mungkin sebagai pernyataan yang tampak agak
mengejutkan bahwa orang melayu sebenarnya berasal dari
Kalimantan atau Borneo. Bagaimana pernyataan itu
didapat dan dengan cara apa untuk membuktikan bahwa
orang Melayu itu asal muasalnya adalah dari pulau
Kalimantan? Inilah yang kini terus dilacak oleh para
ahli dari berbagai disiplin keilmuan.

Beberapa pakar geologi menyebutkan bahwa kepulauan
nusantara purba sesungguhnya adalah sebuah gugusan,
baru sesudah berlangsungnya tragika dimana keadaan
bumi kemudian mengalami pergeseran patahan melalalui
laut dan pegunungan, nusantara terpecah kedalam
lempengan gugusan yang membentuk pulau-pulai kecil.
Istilah Nusantara (Nusa dan Antara) dalam hal ini
menyangkut gugusan pulau dan laut Asia bagian
Tenggara.

Kini para ahli mulai menemukan bahwa berdasarkan
kaedah ilmu linguistik serta dengan memanfaatkan ilmu
arkeologi ada banyak persamaan yang muncul diantara
pengguna bahasa di kawasan nusantara dan kawasan lain
seperti Philipina, Thailand, Malaysia dan Brunei.

Bernd Notherfer (1996) misalnya menyebutkan bahwa
dengan melihat adanya keanekaragaman bahasa Melayik
yang sangat tinggi yang terdapat di pulau Borneo
bagian barat, maka disimpulkan bahwa pulau Borneo
harus diakui sebagai tanah asal usul bahasa Melayu.

Menemukan bukti

Menurut Benrd untuk membuktikan hipotesis bahwa
Kalimantan sebagai tanah asal usul bahasa Melayu dapat
dilihat dengan 3 (tiga) varian pelacak. Pertama adalah
dengan melihat dialek pemakaian bahasa, Kedua dengan
mengamati keberlangsungan dari unsur bahasa purba yang
masih dipertahankan dan Ketiga adalah melihat adanya
unsur keanekaragaman (highest order of diversity),
bahwa tanah asal usul suatu keluarga terletak pada
daerah yang logat bahasanya paling beraneka.

Pembuktian lain yang dipakai untuk melakukan pelacakan
asal muasal orang Melayu adalah dengan mengamati pola
migrasi orang Melayu Purba dari tanah asal usulnya
yang melakukan persebaran ke berbagai wilayah baik
secara serentak maupun migrasi secara
berangsur-angsur.

Pelacakan pola migrasi orang Melayu di Thailand
Selatan (Urak Lawai Malai), orang Melayu di Philipina
Selatan (Mindanao) atau lebih kecil lagi bagaimana
pola migrasi orang Melayu Banjar ke wilayah Tembilahan
masa sebelum kolonial.

Bahasa Melayu Purba

Bernd Notherfer memulai kajiannya yang penting dengan
menganalisis isolek, dialek para penutur bahasa dengan
meminjam Adelaar (1992) yang disebut ‘Bahasa Melayik
Purba’ yang menurutnya termasuk dalam subkelompok
bahasa Austronesia seperti dialek Iban, Sambas,
Sarawak, Brunai, Berau, Kutai, Banjar, Ketapang,
Bangka, Minangkabau, Jambi, Melayu Baku dan Jakarta.

Dengan menggunakan pendekatan keanekaragaman pemakai
dialek yang tinggi, ternyata di bagian Kalimantan
Barat terdapat perbedaan antara satu dengan yang lain
seperti daerah Sarawak, Sambas., Iban, Selako dan
Kendayan sehingga daerah dapat disebut sebagai asal
usul orang Melayu. Pendapat ini didukung pula oleh
Blust (1988) dan Adelaar (1992). Adelaar bahkan
menolak hipotesis bahwa tanah asal usul orang Melayu
terletak di Semenanjung Melayu.

Penting juga untuk diuraikan beberapa contoh
penggunaan bahasa atau kata yang terdapat di beberapa
pengguna bahasa di kawasan yang berbeda. Beberapa kata
yang mempunyai arti yang sama meskipun dalam
pengucapan, intonasi, dialek mengalami perbedaan.
Penggunaan kata Gagap misalnya ditemukan di Sarawak,
Iban, Brunei, Berau dan Banjar yang artinya
meraba-raba. Kata Lanji juga dipakai di Sarawak, Iban,
Brunei, Berau dan Banjar yang artinya berhubungan
dengan kelakuan perempuan yang tidak sopan. Kata
Linggar juga dipakai di Serawak, Iban, Brunei, Berau
dan Banjar yang artinya mudah oleng. Kata Dudi,
pemakaiannya ada di daerah Serawak, Iban, Selako,
Katepang, Berau, Kota Bangun dan Banjar yang artinya
kemudian ( Banjar : "ulun handak tulak haji baimbai
umanya Aluh tahun dudi.").

Ada banyak contoh pemakaian kata yang sama dan hampir
sama dengan pembunyian yang sama pula ditemukan di
berbagai titik pemakaian bahasa yang menunjukkan bahwa
kemungkinan besar pada masa silam para penutur itu
adalah berasal dari "juriat" yang sama atau merupakan
sebuah rumpun pemakai bahasa yang sama.

Saya tidak hendak melanjutkan cerita ini dari aspek
bahasa yang terlampau rumit kedalam kaidah ilmu
bahasa, sebab ini jelas bukan bidang kajian maupun
spesialisasi. Tulisan ini tak hendak menebar garam
dalam lautan, karena boleh jadi akan sangat penting
apabila ianya dibahas oleh para ahli bahasa di daerah
ini.

Akan tetapi yang hendak disampaikan dalam kontek ini
adalah pada bagaimana politik kebahasaan nusantara ini
dalam perspektif kontemporer.

Politik kebahasaan yang dimaksud adalah sepertinya ada
kekuatan besar yang mencoba untuk menenggelamkan
aspek-aspek lokalitas yang sesungguhnya sudah menjadi
sejarah purba bahasa orang Malayu.

Oleh karena itu sudah sepantasnya apabila muatan lokal
yang kini mulai bangkit di sekolah-sekolah mendapat
dukungan semua pihak, seperti misalnya memperbanyak
aspek-aspek keanakeragaman dalam pemakaian bahasa
Melayu asli. Dalam kontek Kalimantan Selatan, tentu
saja yang dimaksud adalah dukungan terhadap bahasa
Banjar yang merupakan bagian dari bahasa Melayu.

Seberapa kuat bahasa lokal mampu bertahan ditengah
datangnya "wabah bahasa" yang selumnya tidak pernah
ada dalam khasanah kosa kata Melayu ? Meskipun harus
dipahami bahwa tidaklah mungkin bahasa Melayu tidak
menyerap unsur bahasa luarnya, tetapi membiarkan
bahasa Melayu menjadi sirna oleh penggunaan bahasa
yang tidak bertanggungjawab, marupakan hal yang
sia-sia, terutama bahasa yang dipakai oleh gerenasi
muda.

Bahasa Dayak = Melayu Purba?

Beberapa waktu yang lalu, saya terlibat diskusi di
perpustakaan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) yang
mempunyai koleksi lebih dari tiga juta buku yang
berada pada lima lantai. Perpustakaan yang terbesar di
Asia Tenggara. Teman duskusi saya itu berasal dari
salah satu suku Dayak di Kalimantan Barat. Saya sangat
respon bukan karena saya dan teman itu berawal dari
faktor ke-dayak-an, tetapi lebih karena adanya minat
yang sama untuk melakukan penelitian tentang etnik
Dayak. Saya sedang meneliti etnik Dayak Bakumpai dari
aspek politik identitasnya sementara teman saya itu
meneliti etnik Dayak dati aspek bahasanya.

Diluar dugaan, bahwa bahasa Dayak Bakumpai saya
ternyata banyak persamaan dengan Bahasa Dayak yang dia
gunakan di Kalimantan Barat itu dalam percakapan
sehari hari.

Sekedar contoh persamaan kata antara bahasa etnik
Bakumpai dengan etnik Dayak (maaf saya tidak dapat
menyebutkan dari etnik Dayak mana) teman saya di
Kalimantan Barat itu. Kata Panganen sama artinya ular
sawa, Silu artinya kuku, Paii artinya kaki, Mate
artinya Mata, Behas artinya Beras, Danum artinya air.

Saya terperanjat dengan persamaan bahasa itu lalu
menghubungkanya dengan pernyataan Bernd yang ahli
bahasa diatas dan kemudian mempertanyakan, kalau
demikian halnya siapakah yang disebut manusia Melayu
Purba itu. Kalau Bernd menyebut Melayu Purba itu
datang dari pulau Kalimantan, maka pertanyaan
selanjutnya tentu saja adalah siapakah penghuni pulai
Kalimantan itu untuk pertama kalinya yang disebut
bangsa Melayu Purba (Apakah suku Iban, suku Murut,
suku Meratus, suku Siang, suku Bakumpai, suku Banjar
dan suku-suku lain).

Kembali pada topik tulisan ini bahwa temuan para ahli
terhadap semacam "mata yang rantai" asal usul bahasa
Melayu dan mungkin juga cikal bakal orang Melayu,
menjadi sangat berguna untuk kajian pelbagai disiplin
ilmu. Tetapi menjadi penting sekarang adalah bahwa
pemakaian bahasa Melayu seharusnya menjadi identitas
yang semakin mengekalkan diantara penggunanya, tidak
hanya pada lembaga pendidikan, tetapi juga lembaga
masayarakat.

Bahasa Melayu yang dimaksudkan dalam tulisan itu tentu
saja adalah bahasa Melayu yang kini diajarkan di
sekolah dan menjadi bahasa pengantar sehari-hari yaitu
bahasa Indonesia yang sebenarnya ruh dan jiwanya
berasal dari bahasa Melayu.

Setia Budhi
Pengajar Pada Fisip Unlam Banjarmasin
SUMBER : http://www.forumsatelit.com/index.php?topic=561.20;wap2

1 komentar:

Anonim Says:
22 Maret 2011 pukul 17.31

BAgus benar artikel ini pak Budi. Saya pemerhati sejarah budaya Kalimantan. Saya sangat mendukung apa yang anda tuliskan sebab sejak semula sudah saya duga bahwa Kemungkinan besar Kalimantan adalah tanah asal bagi orang orang disekitarnya seperti Ke Sumatera, Semenanjung, Sulawesi, Philipina, Vietnam, Kamboja dan sebagainya yang disebut sebagai bagian dari China Selatan.
Saya sudah duga bahwa dimana wilayah yang varian bahasanya lebih banyak tentu merupakan ciri asal bangsa dan bahasa berasal. Melihat ragamnya Kalimantan memang gudangnya suku bangsa dengan ragam bahasanya pula.
JAdi saya sangat Yakin Orang Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja, Philipina, Sumatera, Sememnajung, Sulawesi mulanya berasal dari Kalimantan. Itu artinya Kalimantan adalah tanah leluhur berbagai bangsa Asia.
Dari dulu saya menolak teori yang mengatakan orang Kalimantan berasal dari Yunan sebab jika demikian tentu ada bahasa yang sama disana dengan beragam varian bahasanya, tetapi kan tidak demikian, justeru di Kaliantanlah gudang suku bangsa dan ras Melayu berasal.
Disebut Melayu karena sudah beragama ISlam tetapi jangan salah juga bahwa Melayu juga punya pengertian lain yaitu RAS MELAYU.
Ras Melayu bisa diterima dan juga bisa tidak sebab nama tersebut bukan timbul dari diri orang aslinya melainkan nama pemberian orang luar atau eksonim.
JAdi sepatutnyalah kita tidak boleh terllau bangga dengan sebutan Melayu sebab Melayu sendiri sebutan bagi orang nusantara yakni Mo Lui Ya artinya tak kenal uang. Sangatlah wajar orang nusantara isebut demikian pada jaman dahulu sebab memang belum mengenal uang sementara bangsa China sudah kenal dengan uang. Nama Mo Lui Ya tersebut diberikan oleh bangsa China kepada bangsa nusantara yang kemduian berbah bunyi menjadi Me La Yu.
Mo Lui Ya berasal dari bahasa China dari suku Khek. Merekalah yang melakukan kontak dagang dengan orang nusantara.
Silahkan di cek kepada orang China Kalbar benar atau tidak sebutan tersebut Mo Lui Ya = tidak beruang, atau tak kenal uang.
Sebtan tersebut terus menerus dipakai oleh orang China bagian Selatan kepada orang nusantara yang seterusnya masuk dalam catatan agama Hindu dan Budha sebagai orang Me La Yu.
Catatan tersebut pula dipergunakan para penjajah eropa untuk menyebutkan kawasan nusantara sebagai kawasan Melayu dalam berbagai literatur bukunya.
JAdi panjang memang sejarah perkataan "Me La Yu".
JAdi Melayu sendiri di nusantara sesungguhnya tidak ada demikian pula dengan Dayak.
Masig-masing suku di Kalimantan memiliki namanya sendiri berdasarkan sukunya. Ada Iban yang kini dikenal sebagai Dayak Iban. Jika Iban dahulu beragama Islam pasti namanya bukan Dayak tetapi Melayu Iban. Nah kini pengaruh agama pun sangat kuat memberikan batasan batasan.
Kebetulan Iban banyak yang Kristen sehingga disebut sebagai Dayak Iban, seandainya ban itu Islam maka disebutlah Melayu Iban (aneh bukan?)
Demikian halnya dengan orang Banjar. Misalnya orang Banjar sampai kini beragama Kristen atau non Islam maka disebut sebagai Dayak Banjar, tetapi ini Banjar banyak yang ISlam maka menyebut diri sebagai Melayu Banjar, mengapa bisa begitu?
Tidak elokkah seandaiya kita persatukan diri kita semua tidak ada Islam dan tidak ada Kristen yang berafiliasi dalam nama suku kita sepakati untuk tidak digunakan sebagai sebutan identitas kita.
Akan lebih baik dan indah jika kita semua di KAlimantan menyebut diri sebagai orang asli Kalimantan denga sebtan "Aku orang Borneo atau Kalimantan".
Kata tersebut akan merujuk kepada manusia asli pulau kalimantan bisa Dayak dan bisa juga Melayu, begitu akan lebih baik.
Apapun jadinya, yang jelas tulisan anda sangat bagus dan mendidik. salam dari saya. Tony Kusmiran, SE.
sarabuluh@yahoo.co.id